Kamis, 15 Maret 2012

Ujian Nasional Layak dihapuskan ?? Kenapa ?? Mengapa ??

Mengapa UN Layak Dihapuskan
OPINI | 14 April 2011 | 09:50 112 71 2 dari 2 Kompasianer menilai aktual

8Kebijakan Ujian Nasional (UN) sudah banyak yang menentang. Bahkan sejumlah orangtua yang keberatan atas kebijakan ini, beberapa tahun lalu memenangkan gugatan di tingkat Mahkamah Agung. Namun Mendiknas nekat menyelenggarakan. Ini berarti penyelenggaraan UN melawan hukum. Yah, sepertinya memang sayang melewatkan proyek senilai Rp 592 miliar.

Well, tulisan ini tidak akan semata menyoal anggaran UN dan perbuatan melawan hukum secara kolektif yang dipandegani mendiknas, walaupun hal itu juga sangat pantas menjadi perhatian tersendiri. Faktanya, rakyat menggonggong UN tetap berlalu. Lebih dari itu, masih banyak alasan yang lebih penting sehingga UN harus dihapuskan dari muka bumi.

Ada keperihan yang mendalam saat saya menyaksikan jeritan, ratapan dan tangisan anak-anak yang tak lulus UN. Mereka menggelepar-gelepar, merasa jerih payah yang telah dilakukan selama tiga tahun sia-sia hanya karena ketidaklulusan satu mata pelajaran yang dikerjakan dalam waktu 1,5 jam.

Saya seorang ibu yang membayangkan apa yang mungkin terjadi tiga tahun lagi, bila anak saya duduk di Kelas VI SD. Artinya, seperti UN tingkat SMP dan SMA, maka tidak lulus satu pelajaran saja, anak akan tidak lulus dan terhambat kelangsungan pendidikannya ke jenjang berikutnya. Padahal anak saya peringkat I di sekolah paling top di Kota Solopolitan. Tapi saya tetap khawatir.

Haha, gampang sekali Mendiknas memutuskan program UN terus berlanjut, dan dengan enteng mengatakan, “Tidak lulus itu biasa…!” Sungguh sayang, tidak ada empati sama sekali. Benar-benar zalim Mendiknas ini. Walau alasannya terdengar keren: meningkatkan mutu pendidikan.

Tapi yang terjadi dengan UN adalah sebaliknya. Sejak UN digelar untuk kali pertama, sudah dianggap sebagai sumber kecurangan. Kecurangan dilakukan untuk mengejar angka kelulusan, dan juga menjadi tolok ukur kualitas sekolah, yang tentu saja semuanya hanya kamuflase, karena dilakukan dengan curang! Anak-anak pedalaman yang mayoritas lulus itu, karena diajari sama gurunya. Ini sudah menjadi rahasia umum. Tahun 2010, peringkat kejujuran naik, tapi konsekuensinya banyak sekolah yang tidak meluluskan hingga 100% siswanya. Dengan kata lain, kelulusan berbanding lurus dengan ketidakjujuran. Apakah ini bisa dinamakan peningkatan mutu pendidikan?

STANDAR KELULUSAN TERUS NAIK
Demi alasan yang sama, setiap tahun standar minimal kelulusan dinaikkan. Satu saja di antara beberapa mata pelajaran UN tidak lulus, maka siswa dinyatakan tidak lulus. Sehingga juara olimpiade matematika bisa tidak lulus karena jeblok di bahasa Inggris. Anak yang sudah mendapat PMDK pun tak sedikit yang tidak lulus.

Kehadiran Permendiknas Nomor 45 dan 46 tahun 2010 diyakini membawa perubahan dalam penyelenggaraan Ujian Nasional. Mulai tahun pelajaran 2010/2011, kelulusan peserta didik ditentukan dari nilai akhir (NA). Dalam hal ini Nilai Akhir (NA) diperoleh dari perpaduan Nilai Sekolah (NS) dan nilai UN dengan perbandingan 40%:60%. Namun tetep aja UN menentukan keltlusan dalam porsi besar (60%).

Beginilah, sebab UN mementingkan hasil, mengesampingkan proses. UN menafikan peran guru, orangtua, dewan pendidikan dan komite sekolah yang telah bertahun-tahun menempa pendidikan anak-anak itu. Masa depan pun terancam hancur karena hanya karena 1 pelajaran jeblok. Ya begini bila mutu pendidikan didasarkan pada angka-angka.

KESENJANGAN
Satu lagi, anak di sekolah yang keren di kota besar, belajar di kelas ber-AC, mengikuti bimbingan belajar setiap sore, mengerjakan soal yang sama dengan anak di yang tinggal jauh di pedalaman, mendaki gunung dan menembus hutan agar bisa mencapai sekolahnya yang reyot. UN dijalankan dengan tidak melihat berbagai kesenjangan itu. Inilah Indonesia, “pendidikan untuk semua” selalu didengungkan, namun hanya lips service. Kalau mau UN dijalankan dan MENENTUKAN KELULUSAN, bikin semua anak merasakan fasilitas pendidikan yang sama dulu…!!

KEMANA YANG TIDAK LULUS?
Yang paling parah, selama ini tidak semua anak yang tidak lulus mau mengikuti ujian ulangan, yang bahkan untuk tahun ini mekanisme tersebut dihapuskan, alias tidak ada ujian ulangan. Lalu bagaimana nasib mereka?

1. Sebagian mereka masuk RS jiwa.

2. Sebagian yang lain mati bunuh diri.

3. Sebagian lagi memilih tidak bersekolah alias PUTUS SEKOLAH, karena dalam pikiran orangtua-orangtua murid yang sangat sederhana, sekolah yang sudah dibayar mahal hanya menjadi sumber masalah ketika anak tidak lulus. Mereka pikir tidak ada gunanya sekolah. Angka putus sekolah pun meningkat. Bukankah ini bertentangan dengan program Wajib Belajar?

4. Sebagian kecil mengikuti Program Kejar Paket dengan sembunyi-sembunyi dan malu-malu.
EBTANAS
Dulu, ketika saya SD, SMP dan SMA, ada sistem Ebtanas. Nilai Ebtanas Murni (NEM) tidak menentukan kelulusan, namun digunakan saat siswa melanjutkan ke jenjang berikutnya. NEM bagus, dapat sekolah bagus. NEM jelek, dapat sekolah jelek. Sangat fair. Sementara kelulusan diserahkan kepada Dewan guru setelah melihat proses belajar mengajar tiga tahun. Tentu ada yang protes, cara seperti ini akan mendatangkan masalah karena rawan terjadi KKN. Namun setidaknya selain itu, cara ini jauh lebih manusiawi, tidak mengancam program wajib belajar.

EPILOG

Baiklah kalau mata hati dan pikiran sudah tertutup, dan UN tetap harus dijalankan, karena anggaran ratusan miliar rupiah juga sayang untuk tidak digunakan (sayang fee-nya maksudnya). Maka silakan tetap menjalankan UN, tapi JANGAN MENENTUKAN KELULUSAN, melainkan untuk memetakan pendidikan. Gunakan result UN itu untuk melihat mana daerah yang butuh perhatian lebih agar tidak terjadi kesenjangan. Daerah yang hasil UN-nya buruk, diberi fasilitas lebih, sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, guru yang berkualitas. Sebagai gantinya, terjadi pemerataan pendididikan. Beginilah cara benar meningkatkan mutu pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Guestbook